
MASYARAKAT dan sejumlah public figure belakangan banyak menampilkan foto dengan warna pink brave dan hijau atau hero green. Fenomena gerakan sosial di Indonesia semakin menunjukkan kekuatan simbol visual dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Menurut Fajar Junaedi, Pakar Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), warna kini memainkan peran penting sebagai identitas kolektif di ruang digital maupun aksi massa.
“Biru resistensi dapat ditelusuri dari visual peringatan darurat dengan latar biru tua dan garuda putih," kata dia dalam siaran pers, Kamis (4/9).
"Dalam banyak gerakan rakyat, biru kini digunakan sebagai simbol perlawanan sekaligus harapan. Di Indonesia, istilah Resistance Blue merepresentasikan identitas bagi mereka yang menyuarakan keadilan dan menentang ketidakadilan,” jelas Fajar pada Kamis (4/9).
Selain itu, muncul pula simbol Pink Berani (Pink Brave), yang berawal dari viralnya foto seorang ibu rumah tangga berhijab pink dalam aksi demonstrasi.
“Warna pink yang semula identik dengan kelembutan dan stereotip gender, justru menjadi simbol kekuatan dan keberanian. Warganet bahkan menggunakan latar pink dalam foto profil sebagai bentuk solidaritas,” tambahnya.
Sementara itu, peristiwa tragis seorang pengemudi ojek online (ojol) yang meninggal setelah terlindas kendaraan taktis melahirkan simbol Hijau Pahlawan (Hero Green). Warna hijau kemudian dipandang sebagai representasi semangat dan pengorbanan seorang pahlawan.
“Ketiga warna ini—Resistance Blue, Brave Pink, dan Hero Green—membangun narasi visual yang kuat dalam kampanye digital. Generasi Z dan milenial secara sadar maupun karena FOMO menggunakannya sebagai identitas kolektif di dunia maya,” terang Fajar.
Ia juga menyinggung hasil riset Håkan Johansson dan Gabriella Scaramuzzino dalam New Media and Society (2022), yang menunjukkan bagaimana media sosial memungkinkan gerakan netroots memobilisasi sumber daya digital secara cepat dan melimpah.
Namun, menurut Fajar, kelimpahan ini menuntut konsistensi gerakan, layaknya burung Phoenix yang terus-menerus menemukan kembali bentuknya agar tetap relevan.
“Fenomena buzzer justru menjadi antitesis dari gerakan warganet. Karena itu, pemaknaan simbol dan visual warna ini menunjukkan adanya daya resistensi organik yang tumbuh di masyarakat,” pungkas Fajar. (H-4)