Kematian Affan Kurniawan, pemuda berumur 21 tahun, bukan sekadar hilangnya nyawa warga negara. Ia adalah bukti kegagalan sistemik pemerintah melindungi rakyat, baik dari segi pendidikan, pekerjaan, hingga keamanan.
Affan berhenti sekolah karena ketiadaan biaya, lalu menarik ojek online akibat minimnya lapangan kerja, hingga nyawanya melayang dilindas aparat negara. Sungguh ironi dibanding kehidupan anggota Dewan yang nyaman dengan segala tunjangan.
Pengeras suara Masjid Jami Al-Falah menembus keheningan pagi buta di kawasan padat penduduk, Jalan Tayu, Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Kabar duka disebar pengurus masjid. Salah satu pemuda di lingkungan mereka, Affan Kurniawan, meninggal dunia semalam.
Affan bersama tujuh anggota keluarganya sehari-hari tinggal di kontrakan berukuran 33 meter persegi di sebuah gang di dalam Jl. Tayu. Sudah 11 tahun mereka menetap di sana sejak merantau, meninggalkan kampung halaman di Tanjung Karang, Lampung.
Sempat mengenyam pendidikan hingga SMP, Affan putus sekolah saat SMA karena masalah biaya. Orang tuanya hanya kerja serabutan. Dengan kondisi ekonomi terimpit, Affan memutuskan bekerja sedari dini.
Ia sempat menjadi petugas keamanan sekitar dua tahun, sebelum kemudian menjadi pengemudi ojek online (ojol) dengan sepeda motor yang ia beli secara kredit.
Sejak saat itulah Affan menjadi tumpuan keluarga. Ia ikut membiayai sekolah adiknya yang kini duduk di bangku SMP. Ia bermimpi ingin membeli rumah di kampung halaman untuk kedua orangtuanya.
“Cuma satu keinginannya, pengin bahagiain orang tuanya, itu aja,” ujar Fakhrudin, kerabat Affan, kepada kumparan di Jakarta, Jumat (29/8).
Nahas, mimpi yang dirajut Affan buyar setelah ia tewas dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob Polri di Jl. Penjernihan I, Benhil, pada Kamis (28/8) sekitar pukul 19.30 WIB. Kabar tewasnya Affan begitu mengentak keluarga—dan mengguncang negara.
Ribuan ojol mengiringi Affan ke tempat peristirahatan terakhirnya di TPU Karet Bivak, Jumat (29/8). Mereka datang dari berbagai wilayah seperti Bekasi hingga Depok.
Pemakaman Affan banjir air mata. Semua berduka meski tak mengenalnya secara pribadi. Para ojol hingga ibu pembersih kuburan yang masih menggenggam gunting rumput tampak sesenggukan.
“[Tewasnya Affan] sangat tragis dan miris sehingga membuat kami berempati dan hadir di sini, mengantarkan saudara kita menuju pemakaman,” ujar Harto, ojol yang ikut mengantar Affan dimakamkan.
Rasa sedih itu pula yang dialami rekan-rekan Affan semasa SMP. Mereka kehilangan sosok Affan yang periang dan baik hati.
“[Affan] baik, suka menolong. Apalagi kalau sama teman kelas, paling nomor satu dia. Baik banget deh pokoknya,” kata teman SMP Affan, Hakim, di TPU Karet Bivak.
Peristiwa tragis yang menimpa Affan menjadi duka bangsa. Kematiannya memunculkan gerakan perlawanan dari berbagai elemen masyarakat. Massa di berbagai daerah kompak turun ke jalan menuntut keadilan dan perbaikan.
Sosiolog UGM Derajad Sulistyo menilai, ledakan amarah publik sejatinya merupakan puncak dari gunung es kekecewaan. Sebuah akumulasi kemarahan rakyat atas berbagai Read Entire Article